Tgs 3 sms 1
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, semoga rahmat, taufiq hidayah dan nimatnya
kepada kita semua yg tak terhitung berapa nikmat yg kita rasakan. Dan shalawat
serta salam tercurahkan kepada sang baginda alam kanjeng nabi MUHAMMAD SAW.
Bahagia rasanya
kami dapat mendapatkan judul tentang PERNIKAHAN DINI karna di jaman sekarang
ini pernikahan dini banyak sekali pro dan kontranya.
Harapan kami,
semoga apa yang telah kami kerjakan dengan penulisan Makalah ini, sedikit
banyak dapat membantu teman teman lainya dan pada umumnya dalam
memberikan pembinaan dan Penyuluhan agar lebih terarah dan terprogram.
Semoga
Makalah ini juga bermanfaat bagi para pembaca sekalian Khususnya
Warga Muslim yang masih awam untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan
Syari’at Islam yang lebih mendalam . Akhirnya atas segala bantuan, bimbingan
serta arahan dari semua pihak kami sampaikan terima kasih.
DAFTAR ISI
1.Kata
Pengantar………………………………………………………………………………..1
2.BAB I…………………………………………………………………………………………4
2.1.Pendahuluan………………………………………………………………………….……..4
2.2.Latar Belakang
Masalah………………………………………………………….….……...4
2.3.Perumusan
Masalah…………………………………………………………………………4
3.BAB
II…………………………………………………………………………………………7
3.1pembahasan masalah…………………………………………………………………………7
3.2.Pernikahan Dini Menurut Hukum
Indonesia…………………………………………..……7
3.3.Pernikahan Dini Menurut Agama
Islam…………………………………………………….7
3.4.Hukum yang bertalian dengan
Menikah Dini……………………………………………….10
4.BAB III………………….……………………………………………………………………..14
4.1.Penutup………………………………………………………………………………………14
4.2.
Kesimpulan……………………………………………………………………………...…..14
5.Daftar
Pustaka………………………………………………………………………...………..15
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, semoga rahmat, taufiq hidayah dan nimatnya
kepada kita semua yg tak terhitung berapa nikmat yg kita rasakan. Dan shalawat
serta salam tercurahkan kepada sang baginda alam kanjeng nabi MUHAMMAD SAW.
Bahagia rasanya
kami dapat mendapatkan judul tentang PERNIKAHAN DINI karna di jaman sekarang
ini pernikahan dini banyak sekali pro dan kontranya.
Harapan kami,
semoga apa yang telah kami kerjakan dengan penulisan Makalah ini, sedikit
banyak dapat membantu teman teman lainya dan pada umumnya dalam
memberikan pembinaan dan Penyuluhan agar lebih terarah dan terprogram.
Semoga
Makalah ini juga bermanfaat bagi para pembaca sekalian Khususnya
Warga Muslim yang masih awam untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan
Syari’at Islam yang lebih mendalam . Akhirnya atas segala bantuan, bimbingan
serta arahan dari semua pihak kami sampaikan terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
belakang masalah
Pernikahan dini adalah : Pernikahan
yang dilakukan pada usia muda/ belia. Pria sudah berusia 19 tahun ( sembilan
belas )tahun dan Wanita sudah mencapai usis 16 tahun ( enam belas ) tahun
secara eksplisit ketentuan tersebut di tegas kan bahwa setiap perkawinan atau
Pernikahan yang di lakukan oleh calon Pengantin yang Pria nya belom berusia 19
tahun atau wanitanya 16 tahun di sebut sebagai Pernikahan di bawah Umur. kapan
pernikahan muda dipandang dan di rasa bagaimana dengan demikian maka terjagalah
masa muda dengan adanya penyimpangan dan perbuatan tercela dalam islam telah
memberikan kekuasaan bagi siapa saja yang sudah kemampuan untuk segera menikah
dan tidak mudur untuk melakukan pernikahan bagi mereka yang sudah mampu akan
dapat mengahantarkannya kepada perbuatan tercela dosakarena selain itu
Rasulullah telah memberikan panduan bagi laki-laki kapan saja untuk mencari
pasangan yang memiliki tensi kesuburan untuk memiliki banyak keturunan.
B.Perumusan
masalah
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh:=>Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias syeh Puji dan anak di bawah umur ( Luthfiana Ulfa ) yang telah di jatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 Batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi sarat yang
ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B
KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan
persetubuhan terhadap korban.
Sementara itu dari pihak kejaksaan Tinggi jawa tengah dalam hal ini Jaksa Suningsih selaku jaksa penuntut umum menyatakan bahwa dakwaan tidak harus detail dan Vulgar, yang penting mengungkap pidana nya, karena disana ada konteks dalam hal perlindungan anak justru bukan dalam hal Pornografi yang harus secara detail di terangkan di muka majelis. dan dalam hal perkawinan ini tidak mungkin harus di terangkan secara detail persetubuhan yang di lakukan terdakwa karena terdakwa menolak untuk memberikan keterangan secara rinci. Tapi timbul di saat putusan akhir dari kasus perkawinan antara syeh puji dan Ulfa dalam amar putusannya majelis hakim memvonis syeh Puji 4 tahun penjara. dan menyatakan pernikahan antara Syeh Puji dan Ulfa tidak sah dalam Hukum negara.Juga di dalam Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh syeh Puji kepada anak di bawah umur ( Ulva ) ini. Penolakakan juga datang dari berbagai Aktifis-aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek Materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim ( ERENSDH WETBLOG ) dan dalam pelaksanaan putusan sering di temukan di mana pelaku perkawinan dini itu
masih menghirup bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
Berdasarkan penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Himpunan Fatwa MUI berpendapat, pernikahan usia dini hukumnya sah, sepanjang telah terpenuhi syarat dan rukun nikah.
Namun, pernikahan itu menjadi haram jika mengakibatkan kemudaratan. Kemudian, agar pernikahan itu bisa mencapai tuntunan Islam yakni membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, maka faktor usia (kedewasaan) menjadi salah satu indikator bagi tercapainya tujuan itu.
Dan demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atas sebuah pernikahan, MUI merekomendasikan agar ada sinkronisasi perundang-undangan yang ada, termasuk UU Perkawinan terhadap ketentuan agama. Wallahua’lam.
Sementara itu dari pihak kejaksaan Tinggi jawa tengah dalam hal ini Jaksa Suningsih selaku jaksa penuntut umum menyatakan bahwa dakwaan tidak harus detail dan Vulgar, yang penting mengungkap pidana nya, karena disana ada konteks dalam hal perlindungan anak justru bukan dalam hal Pornografi yang harus secara detail di terangkan di muka majelis. dan dalam hal perkawinan ini tidak mungkin harus di terangkan secara detail persetubuhan yang di lakukan terdakwa karena terdakwa menolak untuk memberikan keterangan secara rinci. Tapi timbul di saat putusan akhir dari kasus perkawinan antara syeh puji dan Ulfa dalam amar putusannya majelis hakim memvonis syeh Puji 4 tahun penjara. dan menyatakan pernikahan antara Syeh Puji dan Ulfa tidak sah dalam Hukum negara.Juga di dalam Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh syeh Puji kepada anak di bawah umur ( Ulva ) ini. Penolakakan juga datang dari berbagai Aktifis-aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek Materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim ( ERENSDH WETBLOG ) dan dalam pelaksanaan putusan sering di temukan di mana pelaku perkawinan dini itu
masih menghirup bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
Berdasarkan penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Himpunan Fatwa MUI berpendapat, pernikahan usia dini hukumnya sah, sepanjang telah terpenuhi syarat dan rukun nikah.
Namun, pernikahan itu menjadi haram jika mengakibatkan kemudaratan. Kemudian, agar pernikahan itu bisa mencapai tuntunan Islam yakni membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, maka faktor usia (kedewasaan) menjadi salah satu indikator bagi tercapainya tujuan itu.
Dan demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atas sebuah pernikahan, MUI merekomendasikan agar ada sinkronisasi perundang-undangan yang ada, termasuk UU Perkawinan terhadap ketentuan agama. Wallahua’lam.
pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan kepada
orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam pernikahan di
bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara agar mendapat
pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau masih berada di
tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh syeh Puji.timbul pertanyaaan dari
penulisan tugas ini yang jadi permasalahan antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syeh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syeh puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur?
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syeh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syeh puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
PEMBAHASAN MASALAH
A.Pernikahan
Dini Menurut Hukum Indonesia
Hukum Positif indonesia mengatur tentang
Pernikahn yang tertuang di dalam UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa “
Perkawinan adalah ikatan Lahir bathin antara seseorang Pria dengan seseorang
Wanita sebagai Suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( Rumah Tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa “ Bagi pernikahan
tersebut tentu harus dapat di perboleh kan bagi mereka yang telah memenuhi
batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan seperti dalam UU Perkawinan pada
Pasal 7 ayat 1 tertera bahwa batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan itu Pria
sudah berusia 19 tahun ( sembilan belas )tahun dan Wanita sudah mencapai usis
16 tahun ( enam belas )tahun secara eksplisit ketentuan tersebut di tegas kan
bahwa setiap perkawinan atau Pernikahan yang di lakukan oleh calon Pengantin
yang Pria nya belom berusia 19 tahun atau wanitanya 16 tahun di sebut sebagai
Pernikahan di bawah Umur.
B.Pernikahan
Dini Menurut Agama Islam
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum
Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama
mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam
usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
عَنْ عَائِشَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ
وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi)
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi)
Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan
QS. An-Nisa : ayat 3 dan 127
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.
Namun hukum asal sunnah dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Bisa menjadi haram juga menikah jika ia menikah dengan alasan untuk menyakiti istri atau karna harta atau yg membahayakan agama
Namun hukum asal sunnah dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Bisa menjadi haram juga menikah jika ia menikah dengan alasan untuk menyakiti istri atau karna harta atau yg membahayakan agama
a. Calon suami, syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami adalah:
1. bukan mahram baik karena hubungan darah,
karena .hubungan sepersususan atau karena hubungan semenda.
2. tidak beristeri lebih dari empat orang.
3. dengan kemauan sendiri.
4. tertentu orangnya.
5. seorang laki-laki (bukan wadam/banci).
6. mengetahui calon isterinya.
7. tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.
8. seorang muslim.
b. Calon isteri, syarat yang
harus dipenuhi adalah:
1. bukan mahram baik disebabkan karena hubungan
darah, karena hubungan sepersusuan atau karena hubungan semenda
2. bukan isteri orang
3. tidak dalam masa tunggu
4. tidak dipaksa
5. seorang muslimah atau ahli kitab
6. tertentu orangnya
7. tidak sedang ihram atau umrah
8. tidak bersaudara, baik karena hubungan
darah, karena sepersusuan maupun semenda, apabila wanita yang dikawini itu
dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat.[11]
c. Adanya mahar,
d. Adanya wali
Sedangkan
syarat-syarat wali:
1. laki-laki
2. dewasa
3. mempunyai hak perwalian
4. tidak terdapat halangan perwalian
e. Saksi nikah,
Syarat-syarat
saksi:
1. minimal 2 orang laki-laki.
2. hadir dalam ijab-qabul
3. dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. dewasa
f. Ucapan sighat (akad
perkawinan), syarat-syaratnya:
1. adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. adanya pernyataan penerimaan dari calon
mempelai pria
3. memakai kata-kata nikah, tazwij atau
terjemahan dari kata-kata nikah atau tazwij
4. antara ijab dan qabul bersinambungan
5. antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. orang yang terkait dengan ijab dan qabul
tidak sedang ihram haji/umrah
7. majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal
4 orang: calon pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan
dua orang saksi
Rukun dan syarat perkawinan tersebut diatas
wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan
tidak sah
C. Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah
juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti
mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan
dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun
ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti
kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah
secara layak.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
1. kesiapan
ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan
pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada
saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti
hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip
bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan
yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya
2. kesiapan
materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai
mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami
kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah)
bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233,
dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta
secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada
isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun
kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu
setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri
seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175)
3. kesiapan
fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani
tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya
Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran
menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin
Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang
suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al
Islam, hal.163). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum
menikah.
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :
a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu :
Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :
“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :
a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu :
Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :
“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan pada dasar nya merupakan fitrah yang di berikan oleh ALLAh SWT. dan juga pada setiap agama di anjurkan untuk meneruskan keturunan dalam kelangsungan hidup manusia. namun walaupun bagai mana pernikahan yang di lakukan pada usia muda memiliki banyak hal yang di kewatirkan pada usia muda tersebut, yang bisa menimbulkan perceraian dalam pernikaha tersebut, akan bisa terjadi persedian buruk pada wanita di bawah umur yang secara biologis belum dewasa dan juga terputusnya peluang tuk mencapai segala yang di cita-citakan.
Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah)
Daftar Pustaka
1.UU NO 1 Tahun 1974. Tentang
Perkawinan
2.Ulasan Kompas Tanggal 18 Oktober Tahun 2009 Tentang Perkawinan Di Usia Dini.Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ungaran NO 233/Pid/B/2009/PN. Tanggal 13 Oktober
3.Tahun 2009 Tentang Putusan Sela Yang Menyatakan Batal Demi Hukum.
2.Ulasan Kompas Tanggal 18 Oktober Tahun 2009 Tentang Perkawinan Di Usia Dini.Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ungaran NO 233/Pid/B/2009/PN. Tanggal 13 Oktober
3.Tahun 2009 Tentang Putusan Sela Yang Menyatakan Batal Demi Hukum.
7.husnita.multiply.com
8.HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18
9. Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al
Islam, hal. 101)
0 comments
Tambahkan Komentar Anda
semua berawal dari diri kita